Industri Hijau Mengancam Kerusakan Lingkungan
TANJUNG SELOR – Pelanggaran sosial dan ekologis yang serius, dibeberkan dalam laporan hasil temuan lapangan dari Koalisi Setara terkait pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).
Koalisi Setara, yang terdiri dari berbagai lembaga seperti Greenpeace, Jatam Kaltim, Nugal Institut, Enter Nusantara, PLHL, Sawit Watch, dan Celios, memaparkan temuan mereka dalam sebuah diskusi dan peluncuran laporan pada Senin (15/7) di Kedai Seruyuk, Tanjung Selor. Laporan ini mengungkap sisi gelap di balik promosi besar-besaran mega proyek tersebut, yang didorong oleh ambisi pemerintah Indonesia untuk mencapai transisi energi dan ekonomi hijau. Proyek yang diklaim sebagai kawasan industri terbesar di dunia ini ternyata membawa dampak negatif bagi masyarakat lokal dan lingkungan sekitar.
Seny dari Nugal Institute menjelaskan bahwa proyek KIHI membawa ancaman krisis iklim, mengurangi area tangkap ikan nelayan, merampas lahan, dan menggusur pemukiman dengan dalih relokasi.
“Itu adalah ruang hidup masyarakat sepanjang Kampung Baru, Tanah Kuning, yang mayoritas nelayan bagan. Sejak dulu, orang tua mereka hidup mengandalkan laut dengan cara tangkap bagan. Kemudian datang industri dengan membuat infrastruktur pelabuhan yang bersinggungan dengan area tangkap nelayan,” ujar Seny.
Ia menegaskan bahwa belum ada ketentuan yang mengatur jalur pengangkutan di pesisir pantai oleh perusahaan. Dalam ketentuan RZWP3K, itu merupakan area tangkap nelayan. Pemerintah mestinya melindungi hak nelayan dengan adanya bagan, bukan hanya memberi akses untuk pelabuhan.
“Ancaman daya rusak, hilangnya mata pencaharian rakyat, dan berbagai modus perampasan tanah dan laut serta penggusuran ruang hidup adalah realita yang akan terjadi,” tegasnya.
Yosran perwakilan PLHL menambahkan, bahwa upaya relokasi seharusnya dilakukan setelah melakukan studi Amdal dan studi larap terlebih dahulu sebagai langkah mitigasi serta memberi ruang bagi masyarakat untuk menegosiasikan hak-haknya.
“Hal itu menjadi bukti hadirnya pemerintah, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin muncul di masyarakat,” katanya.
Ia juga menekankan perbedaan antara kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada alam dan yang bergantung pada industri.
“Konsep masyarakat yang bergantung pada alam, alam memenuhi segala kebutuhan dasarnya tanpa harus menunggu kesejahteraan berkedok industri. Jika alam terus terjaga, pemerintah tidak akan disulitkan dengan angka kemiskinan yang bisa jadi terus bertambah,” ujar Yosran.
Yosran juga menyoroti bahwa pada industri KIHI, yang perlu didorong adalah hilirisasi hasil laut, bukan hilirisasi tambang nikel yang rakus mengeruk sumber daya alam dan jauh dari kata hijau yang disematkan pada agenda ini.
“Ketika masyarakat bergantung pada industri, dihitung dari gaji, mereka yang tidak memiliki keterampilan upahnya bisa jadi kecil dan sulit untuk memenuhi kesejahteraannya,” tegasnya.
Selain itu, terkait kesejahteraan masyarakat, proyek KIHI juga melibatkan modus perampasan lahan yang cukup meresahkan. Lahan masyarakat yang diklaim masuk dalam HGU pengembangan KIHI terkesan tersandra. Warga yang ingin terlibat sebagai tenaga kerja harus rela melepaskan tanahnya, dan mereka yang ingin memperpanjang status pekerjaan di perusahaan juga diharuskan melepas lahannya.
“Kasus ini seolah menjawab bahwa ini bagian dari kebohongan industri hijau, dan ini turut mencederai hak asasi masyarakat di Kampung Baru, Mangkupadi, Tanah Kuning,” sebut Yosran.
Dengan temuan ini, Koalisi Setara berharap pemerintah dan masyarakat lebih kritis terhadap proyek-proyek besar yang menjanjikan kesejahteraan namun berpotensi merugikan masyarakat dan lingkungan. (LN)