Dilema Penertiban HTI di Segah, Antara Penegakan Hukum dan Kesejahteraan Masyarakat
Berau – Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dilakukan Satuan Gugus (Satgas) PKH di area Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berlokasi di wilayah Kecamatan Segah pada Senin (16/6/2025) lalu, dinilai dilematis. Pasalnya, upaya penegakan hukum dan undang-undang (UU) pada satu sisi akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat di sisi lain. Apalagi jika kawasan HTI yang disegel pemerintah itu diduga bersifat transaksional.
Hal itu disoroti Kepala Kampung (Kakam) Gunung Sari, M Jabir, pada saat digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan agenda pembahasan terkait perkebunan masyarakat yang terindikasi dalam area PKH, Selasa (15/7/2025). Menurut Jabir, pemasangan plang oleh Satgas PKH di wilayah Gunung Sari beberapa waktu lalu, telah menyegel 10 ribu hektar (Ha) lahan. Dari jumlah lahan yang tersegel itu, 45 persennya sudah dikelola masyarakat.
“Ada yang baru tanam, ada yang sudah panen. Ini bagaimana kita menindaklanjuti. Kami ingin ini aman-aman saja,” ungkap Jabir. Meskipun PKH itu dilakukan dalam rangka menjaga kelestarian hutan, lanjut Jabir, kesejahteraan masyarakat juga harus dipikirkan. Apalagi sebagian besar masyarakat yang berdiam di Gunung Sari merupakan pendatang dari luar.
Menurut Jabir, 80 persen warga Gunung Sari merupakan pendatang dari luar. Berikutnya, sebagian pendatang itulah yang terlibat dalam aktivitas membuka kebun dalam wilayah HTI. Namun, diyakini Jabir, tindakan warga ini tidak terlepas dari ketidaktahuan dan pengaruh oknum tertentu.
“Saya takut ada oknum-oknum yang memanfaatkan lahan itu. Saya tidak yakin orang Sulawesi, orang Jawa buka kebun di situ dan tahu di situ ada tanah kosong. Saya tidak percaya,” jelasnya. “Yang saya percaya itu orang Sulawesi, orang Jawa datang itu pasti ada yang tunjukkan. Setelah mereka tahu, ada transaksi di sana. Nah ini pasti ada yang menjual lahan itu. Kalau mau tegas kita dilema, kasihan. Di satu sisi mereka cari makan, di lain sisi mereka melanggar UU,” sambungnya.
Berhadapan dengan dilema penertiban HTI itu, Jabir meminta pemerintah daerah untuk selain menegakkan aturan, tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat ke depannya. Apalagi jika upaya merambah HTI itu dibangun di atas dasar ketidaktahuan dan ulah oknum tidak bertanggung jawab.
“Jadi, ini perlu dipikirkan. Karena ketika mereka membuka kebun ada tuntutan. Lalu mereka takut, kemudian pulang kampung dengan tangan kosong. Biar bagaimanapun mereka adalah warga negara Indonesia,” tandasnya.
Dengan demikian, Jabir berharap pemerintah daerah dapat menemukan solusi yang terbaik untuk masyarakat dan lingkungan. Pemerintah daerah diharapkan dapat mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan dalam mengambil keputusan terkait penertiban HTI. (*/)