Soal Kasus Dugaan Ijazah Palsu, Berkas Rekomendasi Bawaslu Dikirim ke Polda
Tanjung Selor – Meski penyidikan laporan terkait penggunaan dugaan ijazah palsu dihentikan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kaltara, namun laporan yang menyangkut nama SS sebagai anggota DPRD Kota Tarakan yang baru dilantik masih berlanjut.
Bawaslu Kaltara telah melimpahkan berkas rekomendasi dugaan pelanggaran non pemilu yang dilakukan oleh SS ke Polda Kaltara.
Surat rekomendasi itu dengan nomor surat 001/rekom-DPPL/LP/PL/PROV/24.00/VIII/2024 ini diterima pihak Polda Kaltara pada Rabu, (21/8/2024) lalu.
Hal itu dibenarkan oleh Komisioner Bawaslu Kaltara Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi, Fadliansyah.
“Bawaslu Kaltara merekomendasikan ke Polda karena mengandung dugaan pelanggaran peraturan perundang undangan lainnya, atau di luar UU pemilu. Jadi penanganannya di luar kewenangan Bawaslu” kata Fadliansyah saat dikonfirmasi, Sabtu (24/8/2024).
Sebelumnya, Bawaslu Kaltara merekomendasikan laporan dugaan penggunaan ijazah palsu oleh salah satu calon anggota DPRD Kota Tarakan terpilih, berinisial SS ke Polda Kaltara.
Dalam kesimpulannya, disebutkan, berdasarkan Pasal 49 ayat 1 Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2202, Bawaslu Kaltara merekomendasikan terlapor (SS) ke Polda Kaltara.
Berdasarkan hasil pleno dari sentra Gakkumdu Kaltara, yang terdiri dari Bawaslu Kaltara, Polda Kaltara dan Kejati Kaltim pada Jum’at (16/8/2024), disepakati jika kasus tersebut tidak dapat di naikkan ke penyidikan ke kepolisian.
Dimana dalam kesimpulan hasil pleno itu, menyimpulkan bahwa kasus dugaan pelanggaran pidana pemilu yang dilaporkan, tidak dinaikkan ke tahap penyidikan oleh kepolisian, karena terdapat beberapa barang bukti (BB) yang belum terpenuhi.
“Yang kami jadikan dasar. Yakni, hasil penyelidikan Polda Kaltara dan hasil pembahasan sentra gakkumdu serta hasil kajian dari tim penanganan pelanggaran Bawaslu Kaltara. Minimal dibutuhkan dua alat bukti untuk bisa naik ke tahap penyelidikan. Secara formil, dugaan ijazah palsu kurang kuat,” ungkapnya.
Meski begitu, berdasar hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi ketidakobjektifan dan ketidakakuntabelan pada proses pendaftaran. Terutama dalam program pendidikan kesetaraan (paket) A, B, dan C. Selain itu, dalam proses standar kelulusan paket B, dilakukan persyaratan untuk melampirkan rapor.
“Palagi berdasarkan hasil pemeriksaan kita bahwa, baik dari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) maupun terlapor, tidak ada rapor yang dilampirkan,” bebernya.
Atas dasar itulah, Bawaslu Kaltara merekomendasikan dugaan pelanggaran pidana, terkait Peraturan Pemerintah (PP) 17 Tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nomor 97 Tahun 2013 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional.
“Tapi rekomendasi ini masih bersifat dugaan saja. Sesuai juknis (petunjuk juknis), meskipun bersifat dugaan, Bawaslu bisa merekomendasikan kepada instansi yang berwenang untuk menindaklanjuti. Apalagi terlapor mengakui sudah menempuh pendidikan formal hingga kelas lima sementer genap. Tapi kita tidak mendapatkan bukti berupa rapor dari terlapor ini,” jelasnya.
Lebih jauh lagi dijelaskan, apabila terbukti melanggar regulasi, pelaku dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta, sesuai Pasal 69 pada peraturan tersebut.
Apabila kemudian, putusan tersebut telah inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap, maka anggota DPRD yang telah dilantik tersebut berpotensi dilakukan penggantian antar waktu atau PAW.
“Sanksinya, jika memang terbukti bisa PAW. Tapi kita tunggu hasil proses di kepolisian saja dulu,” tandasnya. (*)
#Bulungan